MAKALAH ACEH.COM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
pembahasan ini sebelum kita berbicara mengenai Ilmu Sejarah ada baiknya kita
melihat dulu bagai mana Ilmu dan Sejarah itu berkembang. Pada mulanya ilmu yang
dikembangkan manusia hanya satu yaitu filsafat dimana manusia mengalami suatu
persoalan hidup dimana manusia merasa heran, sangsi dan sadar akan
keterbatasannya sebagai manusia. Hal ini akhirnya mendorong manusia untuk
berpikir secara ilmiah (Filsafat). Setelah manusia berfilsafat ternyata masalah
yang dihadapinya semakin rumit dan kompleks sehingga tidak bisa dijawab dengan
cara filsafat
Lambat
laun muncullah cabang-cabang ilmu termasuk Ilmu Sejarah, ilmu ini terikat pada
prosedur penelitian ilmiah dan penalaran yang bersandar pada fakta (bahasa
latin Factus berarti apa yang sudah selesai). Kebenaran ilmu sejarah
terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber sejarah secara tuntas,
sehingga diharapkan ia akan mengungkap sejarah secara objektif.
Tradisi Sejarah Manusia
Masa Praaksara Manusia
Indonesia sebelum mengenal aksara sudah memiliki tradisi sejarah. Maksud tradisi sejarah adalah bagaimana
suatu Manusia memiliki kesadaran terhadap masa lalunya. Kesadaran tersebut
kemudian dia rekam dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Perekaman dan
pewarisan tersebut kemudian menjadi suatu tradisi yang hidup tumbuh dan
berkembang dalam Manusia. Bagaimanakah Manusia yang belum mengenal tulisan
merekam dan mewariskan masa lalunya? Bagaimanakah Manusia yang belum mengenal
tulisan memaknai masa lalunya? Manusia dalam memahami masa lalunya akan
ditentukan oleh alam pikiran Manusia pada masa itu atau “jiwa zaman”.
Alam pikiran Manusia yang belum mengenal tulisan sudah tentu
berbeda dengan Manusia yang sudah mengenal tulisan. Tulisan pada dasarnya
merupakan salah satu hasil dari alam pikiran manusia. Kehidupan manusia
memperlihatkan adanya suatu kesinambungan waktu. Kesinambungan ini terlihat
dalam tahap-tahap kehidupan manusia, misalnya mulai dia dilahirkan, masa
kanak-kanak, masa dewasa, dan sampai orang tua. Dalam kesinambungan waktu
itulah nampak terjadi perubahan-perubahan dari satu tahap ke tahap lainnya.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri Manusia dapat
menjadi pengalaman hidup masa lalunya. Pemahaman terhadap masa lalunya selalu
berkaitan dengan bagaimana Manusia tersebut melihat perubahan yang terjadi pada
diri dan lingkungan di sekitarnya. Secara garis besar, perubahan dapat
dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu perubahan yang bersifat alami dan
perubahan yang bersifat insani. Perubahan alami adalah perubahan yang terjadi
pada alam itu sendiri seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, dan
lain-lain. Adapun perubahan insani adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada
diri manusia, baik bersifat individu maupun kelompok, misalnya kelahiran,
peperangan, dan kejadian-kejadian lainnya.
Manusia yang belum mengenal tulisan melihat alam sebagai
bagian yang terpenting dalam menentukan perubahan diri dan lingkungannya. Alam
adalah pusat segala perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi, baik yang ada
pada dirinya maupun lingkungannya, lebih banyak menempatkan alam sebagai
penyebab utama perubahan tersebut. Sebab, alam merupakan pusat utama perubahan,
maka manusia pada masa sebelum mengenal tulisan memperlakukan alam sebagai
kekuatan yang harus dihormati bahkan dikultuskan. Alam memiliki
kekuatan-kekuatan yang melahirkan suatu hukum keteraturan, yaitu hukum alam.
Hukum alam inilah yang banyak mengatur perubahan pada diri manusia.
Dalam pemahaman sebagaimana diuraikan di atas, manusia pada
masa belum mengenal tulisan melihat perubahan yang terjadi pada manusia yang
bersumber dari kekuatan di luar diri manusia. Bahkan kekuatan itu bukan hanya
bersumber dari alam akan tetapi bersumber pula dari kekuatan-kekuatan lain
selain manusia. Kekuatan tersebut seperti dewa atau figur-figur tertentu yang
memiliki kesaktian. Pemahaman seperti ini disebut dengan pemahaman yang
bersifat religius magis.
Dalam pemikiran yang bersifat magis religius, pemikiran
manusia dalam melihat asal usul kejadian tidaklah bersifat rasional atau masuk
akal, tetapi bersifat irrasional. Manusia merupakan bagian dari sebuah kekuatan
besar yang berada di luar dirinya. Pemikiran yang seperti ini tidak menempatkan
manusia sebagai kekuatan yang otonom, artinya mandiri.
Manusia adalah objek perubahan, bukan subjek perubahan. Dalam sebuah perubahan,
manusia mempunyai kedudukan yang bersifat subordinatif. Pemikiran yang bersifat
religio magis banyak bertebaran di Indonesia, misalnya dalam cerita asal usul
mengenai suatu daerah diawali dengan datangnya seorang tokoh yang memiliki
kesaktian. Tokoh tersebut dapat berupa dewa atau setengah dewa setengah
manusia. Tokoh tersebut ditempatkan sebagai figur yang sentral. Kedatangannya
ke daerah tersebut diutus oleh dewa tertinggi yang menguasai alam. Dalam cerita
asal usul daerah itu, agar menjadi lebih manusiawi (ada peran manusia),
biasanya diceritakan tokoh tersebut menikah dengan manusia. Pernikahan ini akan
melahirkan keturunan dan keturunannya ini kemudian menjadi cikal bakal
terbentuknya daerah tersebut.
Begitu pula halnya dalam menjelaskan peristiwa alam.
Perubahan yang terjadi pada alam dianggap sebagai suatu kehendak di luar
kehendak manusia. Manusia hanya bersikap pasrah terhadap perubahan yang terjadi
pada alam tersebut. Kehendak yang dimaksud dapat berupa kehendak dewa. Seperti
terjadinya banjir atau bencana alam, lebih dipahami sebagai bentuk dari
kehendak dewa. Kalau dikaitkan dengan perilaku manusia, kejadian alam itu dapat
dipahami sebagai bentuk kutukan atau kemarahan dewa kepada manusia.
Kesadaran sejarah pada Manusia yang belum mengenal tulisan
sudah terbentuk. Mereka berupaya agar tradisi sejarah yang mereka miliki dapat
diwariskan kepada generasinya. Tujuan utama pewarisan tersebut yaitu pertama
agar generasi penerusnya memiliki pengetahuan masa lalunya, dan tujuan yang
lebih penting ialah pengetahuan itu harus menjadi suatu keyakinan. Keyakinan
tersebut memiliki nilai-nilai yang mereka anggap berguna bagi kehidupan. Bahkan
nilai-nilai tersebut menjadi pegangan hidup dalam membimbing jalan
kehidupannya.
Cara pewarisan yang dilakukan ialah dengan bertutur dari
mulut ke mulut. Hal ini dilakukan karena pada Manusia yang belum mengenal
tulisan, tidak meninggalkan bukti sejarah dalam bentuk peninggalan tertulis.
Penuturan melalui bercerita merupakan cara yang efektif untuk mewariskan kepada
generasi berikutnya. Cara penceritaan tersebut kemudian dikenal dengan istilah
tradisi lisan.
Dalam tradisi lisan, terdapat
pesan-pesan yang banyak mengandung unsur kearifan. Pesan-pesan itu disampaikan
secara verbal, sebab pada masa itu belum mengenal tulisan. Ada dua ciri penting
tradisi lisan. Pertama, menyangkut pesan-pesan yang berupa
pernyataan-pernyataan lisan yang diucapkan, dinyanyikan, atau disampaikan lewat
musik. Berbeda halnya dengan Manusia yang sudah mengenal tulisan, pesan-pesan
itu disampaikan dalam bentuk teks (tertulis). Ciri kedua ialah tradisi
lisan berasal dari generasi sebelum generasi sekarang, paling sedikit satu
generasi sebelumnya. Berbeda halnya dengan sejarah lisan (oral history),
disusun bukan dari generasi sebelumnya tapi disusun oleh generasi sezaman. Asal
tradisi lisan dari generasi sebelumnya karena memiliki fungsi pewarisan,
sedangkan di dalam sejarah lisan tidak ada upaya untuk pewarisan.
Tradisi lisan biasa dibedakan menjadi beberapa jenis. Pertama,
berupa “petuah-petuah” yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap
punya arti khusus bagi kelompok, yang biasanya dinyatakan berulangulang untuk
menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapkan dapat menjadi pegangan bagi
generasi-generasi berikutnya. Rumusan kalimat atau kata-kata itu biasanya
diusahakan untuk tidak diubah-ubah, meskipun dalam kenyataan perubahan itu
biasa saja terjadi terutama sesudah melewati beberapa generasi, apalagi
penerusannya bersifat lisan, sehingga sukar dicek dengan rumusan aslinya.
Namun, karena kedudukannya yang sangat istimewa dalam kehidupan kelompok, maka
tetap diyakini bahwa rumusan itu tidak berubah. Bentuk yang kedua dari
tradisi lisan adalah “kisah” tentang kejadian-kejadian di sekitar kehidupan
kelompok, baik sebagai kisah perorangan (personal tradition) atau
sebagai kelompok (group account). Sesuai dengan alam pikiran Manusia
yang magis religius, kisah-kisah ini yang sebenarnya berintikan suatu fakta
tertentu, biasanya diselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, atau terjadi
pencampuradukan antara fakta dengan kepercayaan itu. Cara penyampaian fakta
memang seperti menyampaikan gosip (penuh dengan tambahan-tambahan menurut
selera penuturnya), maka disebut pula dengan istilah “historical gossip” (gosip
yang bernilai sejarah). Untuk kisah-kisah perseorangan atau keluarga ini
diulang-ulang atau diingat-ingat dalam beberapa generasi, sehingga riwayat
keluarga ini kemudian biasa menjadi milik kelompok yang sering dikeramatkan
bagi generasi-generasi berikutnya, yang biasanya diperbaharui (ditambahkan)
secara berkesinambungan.
Bentuk ketiga dari tradisi lisan yaitu “cerita
kepahlawanan”. Cerita ini berisi bermacam-macam gambaran tentang
tindakan-tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang
biasanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu (biasanya tokoh-tokoh pemimpin Manusia).
Beberapa cerita kepahlawanan ini memang ada yang punya dimensi historis yang
patut diperhatikan karena unsur fakta sejarahnya yang masih bisa ditelusuri,
tetapi pada umumnya sudah terselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, sehingga
kadang-kadang dianggap lebih bersifat hasil sastra. Keempat, yaitu
bentuk cerita “dongeng” yang umumnya bersifat fiksi belaka. Tentu saja unsur
faktanya boleh dikatakan tidak ada, dan memang biasanya terutama berfungsi
untuk menyenangkan (menghibur) pendengarnya meskipun sering di dalamnya
terkandung unsur-unsur petuah.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang saya
kemukakan berdasarkan latar belakang diatas ialah:
- Apa
Pengertian Kedudukan Sejarah dalam kehidupan manusia?
- Bagaiaman
Kedudukan Manusia masa lampaou?
- Apa
tujuan hidup manusia?
- Pemahaman
manusia sekarang dan masalalu?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yang
kelompok kemukakan berdasarkan masalah-masalah yang akan dibahas adalah:
- Untuk menjelaskan pengertian
Sejarah.
- Untuk menjelaskan kedudukan manusia
di muka bumi.
- Untuk menjelaskan kegunaan kehidupan
ini.
- Nilai-nilai yang bermoral bagi
kehidupan sesama.
D. Fungsi
utama dalam tradisi
Pewarisan dan perekaman terhadap apa
yang terjadi pada masa lalu menurut pandangan suatu kelompok Manusia. Bagi Manusia
yang belum mengenal tulisan, tradisi lisan yang lebih dipentingkan ialah
meyakini apa yang diceritakannya. Pengetahuan terhadap apa yang diceritakan
dalam tradisi lisan bukanlah tujuan penting. Tradisi lisan merupakan bagian
dari budaya bagi Manusia yang memegangnya. Sebagai suatu aspek budaya, maka
kepentingan untuk menjelaskan atau memahami lingkungan sekitar itu sekaligus
sebagai usaha memberi pegangan kepada Manusia terutama generasi berikutnya
dalam menghadapi berbagai kemungkinan dari lingkungan itu. Di sini tradisi
lisan berfungsi sebagai alat “mnemonik”, yaitu usaha untuk merekam, menyusun,
dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Keyakinan Manusia pendukung tradisi lisan disebabkan
oleh adanya nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut. Mereka tidak
terlalu memperhatikan apakah faktanya mengandung kebenaran, apakah faktanya
secara nyata ada. Nilai-nilai tersebut misalnya keteladanan, keberanian,
kejujuran, kekeluargaan, penghormatan terhadap leluhur, kecintaan, kasih
sayang, dan lain-lain. Nilai-nilai yang ada dalam tradisi itu disebut juga
dengan kearifan lokal. Disebut demikian karena nilai-nilai yang
terkandung banyak mengandung sikap-sikap yang arif, bahkan dalam konteks
sekarang nilai-nilai itu sangat berguna untuk diterapkan.
BAB II
KEDUDUKAN
SEJARAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
A. Pengertian
Sejarah
juga harus dilihat sebagai ilmu pengetahuan yang ilmiah. Pada posisi ini,
meskipun sejarah dapat dilihat sebagai seni, namun sejarah tetaplah sebuah ilmu
pengetahuan yang mempunyai metodologi ilmiah yang bertanggung jawab. Dengan
demikian sejarah tidak dapat disamakan dengan sastra. Penelitian sejarah secara
mutlak harus berdasarkan fakta sejarah yang dapat dipercaya.
1. Pengertian
Secara Negatif
Banyak penulis yang menyatakan
pendapatnya dengan menggunakan sejarah sebagai latar belakang. Kalian dapat
bukatikan itu di koran-koran, pidato-pidato, atau bahkan ketika kalian berdebat
dengan teman kalian, pasti berpikir tentang masa lalu terjadi. untuk
menyelesaikan masalah saat ini, kita harus melihat dulu masa lalu. Kita harus
mempelajari apa sebenarnya kesalahan yang terjadi di masa lampau. Selain itu
kita juga bisa mencoba strategi-strategi kehidupan yang berhasil di masa lalu.
Sejarah dapat memberikan gambaran dan pengalaman-pengalaman yang berguna pada
masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, barulah kita bisa memberi
saran, pendapat, bagi manusia saat ini. Pendapat tersebut berupa usulan-usulan
agar kesalahan-kesalahan yang lalu tidak terulangi dan prestasi-prestasi di
masa lalu dapat diulangi.
2.
Pengertian Secara Positif
Tahukan kalian apa itu Ilmu Pengetahuan?
Ilmu Pengetahuan adalah jawaban teoritis terhadap masalah manusia. Jadi ilmu
yang banyak kalian pelajari, bukanlah sebuah paksaan, karena tujuan akhirnya
kalian sebagai orang terdidik harus mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan
ini. Demikian pula ilmu sejarah, karena sebagai ilmu, sejarah pun berbagi
dengan ilmu lain untuk memecahkan masalah kehidupan ini. Sejarah ingin
memecahkan masalah manusia yang terkait dengan masa lalu, yang menyangkut
kepentingan orang banyak.
Karena
sebagai ilmu, sejarah tentu saja menggunakan metode penelitian ilmiah, yang
bertanggung jawab, dan terukur. Sehingga ilmu sejarah, tidak terperosok menjadi
pendapat semata, yang menyesatkan.
3. Sebagai cara mengetahui masa lampau
Dengan
demikian, sejarah akan mendayagunakan metode ilmiahnya untuk dapat mengetahui
masa lalu. Masa lalu harus terpecahkan! Ilmu sejarah membantu kita memahami
berbagai peristiwa yang mempengaruhi peradaban umat manusia sepanjang masa.
Untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah sekarang, manusia harus berdialog
dengan masa lalu. Itulah salah satu kegunaan sejarah. Belajar sejarah dengan
baik akan membantu kita menemukan jati diri, karakter dan kebanggan bangsa
Indonesia.
4. Sejarah Bukan Filsafat
Belajar sejarah itu perlu berpikir,
perlu logika. Sejarah harus dilihat dalam hubungan sebab-akibat (kausalitas)
yang ada dalam setiap peristiwa sejarah. Ibaratkan pepatah “ada asap ada api”,
“ada gula ada semut”, sejarah selalu mendorong peneliti dan pembacanya untuk
menemukan sebab dari sebuah peristiwa. Hal ini menyebabkan belajar sejarah
harus membuat orang berpikir plurikausal (pluri=banyak; kausal=sebab).
Dengan belajar sejarah, secara tidak
langsung kita juga akan kritis dalam memandang sehala sesuatu. Oleh sebab itu
sejarah dapat dikatakan, secara tidak langsung menjadi pendidikan penalaran
(nalar=berpikir dengan kaidah yang benar).
Alasan ini pula yang mengidentikkan
belajar sejarah dengan kebijaksanaan dan menjadi kuliah wajib bagi para
keluarga bangsawan di Inggris. Tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta,
Syahrir, Jawaharlal Nehru, Mahatma Gandhi, F.D. Roosevelt, Winston Churchil,
Kennedy dan banyak tokoh besar lainnya adalah pencinta sejarah. Jika suatu saat
kalian nanti menjadi tokoh besar, ingatlah perkataan saya “sejarah itu penting
dan berguna”, dan buktikan apa saya benar atau salah.
a. Sebagai pendidikan
politik
Ada pernyatan umum yang mengatakan,
sejarah itu adalah sejarah tentang politik. Sejarah banyak sekali membahas
mengenai sejarah politik, bahkan selama ini sejarah selalu identik dengan
politik. Dari jaman suku-suku kecil, kerajaan-kerajaan, hingga terbentuknya
negara modern, semua dipelajari dalam sejarah. Para politikus dan
organisasi-organisasi massa belajar sejarah untuk mengkaji kebijakan-kebijakan
di masa lalu. Misalnya kebijakan ekonomi harus melihat sejarah perekonomian
suatu bangsa, sehingga kegagalan-kegagalan dapat diminimalisir.
Dalam hal ini, sejarah secara tidak
langsung juga menjadikan pembacanya, penelitinya mengerti tentang politik,
sejarah menjadi pendidikan politik.
b. Sebagai pendidikan
perubahan
Bagaimana perkembangan (sejarah)
hidupmu? Yah, kamu dulu hanya bayi kecil yang bergantung pada ibu, lalu kamu
remaja, dewasa, dan nantinya tua juga. Sejarah juga belajar tentang
perkembangan tersebut, dari awal dulu, hingga sekarang, dan ternyata dunia
selalu berubah. Belajar sejarah, berarti juga belajar untuk berubah, belajar
untuk bergerak, dan melakukan pembaharuan.
Sejarah tidak hanya mempelajari masa
lalu untuk kepentingan masa lalu saja. Sejarah sebagai kisah nyata pengalaman
hidup manusia dapat digunakan untuk memprediksi dan mengantisipasi kejadian
berikutnya/masa depan yang memiliki kecenderungan yang sama. Sehingga secara
tidak langsung, sejarah mengajak kita untuk “Berubah!”, memperbaiki yang
kurang, dan meningkatkan yang lebih. Mari kita berubah!
B. Menjelaskan kedudukan manusia di muka bumi.
Allah menciptakan alam semesta
(termasuk manusia) tidaklah dengan palsu dan sia-sia (QS. As-Shod ayat 27).
Segala ciptaan-Nya mengandung maksud dan manfaat. Oleh karena itu, sebagai
makhluk yang paling mulia, sekaligus sebagai khalifah di muka bumi, manusia
harus meyadari terhadap tujuan hidupnya. Dalam konteks ini, al-Qur’an
menjelaskan, bahwa manusia memiliki bebrapa tujuan hidup, diantaranya adalah
sebagai berikut;
1. Menyembah Kepada Allah
(Beriman)
Keberadaan
manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan sendirinya. Manusia diciptakan
oleh Allah, dengan dibekali potensi dan infrastruktur yang sangat unik.
Keunikan dan kesempurnaan bentuk manusia ini bukan saja dilihat dari bentuknya,
akan tetapi juga dari karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia. Sebagai
ciptaan, manusia dituntut memiliki kesadaran terhadap posisi dan kedudukan
dirinya di hadapan Tuhan. Dalam konteks ini, posisi manusia dihadapan Tuhan
adalah bagaikan “hamba” dengan “majikan” atau “abdi” dengan “raja”, yang harus
menunjukan sifat pengabdiaan dan kepatuhan.
Makan
beribadah sebagaimana dikemukakan di atas (mentaati segala perintah dan
menjauhi larangan Allah) merupakan makna ibdah secara umum. Dalam tataran
praktis, ibadah secara umum dapat diimplementasikan dalam setiap aktivitas yang
diniatkan untuk menggapai keridlaan-Nya, seperti bekerja secara professional,
mendidik anak, berdakwah dan lain sebagainya. Dengan demikian, misi hidup
manusia untuk beribadah kepada Allah dapat diwujudkan dalam segala aktivitas
yang bertujuan mencari ridla Allah (mardlotillah).
Sedangkan
secara khusus, ibadah dapat dipahami sebagai ketaatan terhadap hukum syara’
yang mengatur hubungan vertical-transendental (manusia dengan Allah). Hukum
syara’ ini selalu berkaitan dengan amal manusia yang diorientasikan untuk
menjalankan kewajiban ‘ubudiyah manusia, seperti menunaikan ibadah shalat,
menjalankan ibadah puasa, memberikan zakat, pergi haji dan lain sebagainya.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan hidup manusia yang
pertama adalah menyembah kepada Allah. Dalam pengertian yang lebih sederhana,
tujuan ini dapat disebut dengan “beriman”. Manusia memiliki keharusan menjadi
individu yang beriman kepada Allah (tauhid). Beriman merupakan kebalikan dari
syirik, sehingga dalam kehidupannya manusa sama sekali tidak dibenarkan
menyekutukan Allah dengan segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini (Syirik).
2. Memanfaatkan Alam Semesta.
Perintah
memakmurkan alam, berarti perintah untuk menjadikan alam semesta sebagai media
mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di muka bumi. Al-Qur’an menekankan bahwa
Allah tidak pernah tak perduli dengan ciptaan-Nya. Ia telah menciptakan bumi
sebanyak Ia menciptakan langit, yang kesemuanya dimaksudkan untuk menjamin
kesejahteraan lahir dan batin manusia. Ia telah menciptakan segala sesuatu
untuk kepentingan manusia. Bintang diciptakan untuk membantu manusia dalam
pelayaran, bulan dan matahari diciptakan sebagai dasar penanggalan. Demikian
juga dengan realitas kealaman yang lainnya, diciptakan adalah dengan membekal
maksud untuk kemaslahatan manusia.
Untuk
menjadikan realitas kealaman dapat dimanfaatkan oleh manusia, Allah telah
membekalinya dengan potensi akal. Di samping itu, Allah juga telah mengajarkan
kepada manusia terhadap nama-nama benda yang ada di alam semesta. Semua ini
diberikan oleh Allah adalah sebagai bekal untuk menjadikan alam semesta sebagai
media membentuk kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Dalam hal ini Allah menegaskan
bahwa manusia harus mengembara dimuka bumi, dan menjadikan seluruh fenomena
kelaman sebagai pelajaran untuk meraih kebahagian hidupnya (QS. Al-Ankabut ayat
20 dan QS. Al-Qashash ayat 20).
Berdasarkan
uraian di atas, maka sangat jelas bahwa dalam kehidupannya manusia memiliki
tujuan untuk memakmurkan alam semesta. Implementasi tujuan ini dapat diwujudkan
dalam bentuk mengambil i’tibar (pelajaran), menunjukan sikap sportif dan
inovatif serta selalu berbuat yang bermanfaat untuk diri dan lingkungannya.
Dalam konteks hubungannya dengan alam semesta, dalam kehidupannya manusia
memiliki tujuan untuk melakukan kerja perekayasaan agar segala yang ada di alam
semesta ini dapat bermanfaat bagi kehidupannya. Dengan kata lain, tujuan hidup
manusia yang semacam ini dapat dikatakan dengan tujuan untuk “beramal”.
C. Tujuan hidup manusia Sejarah Dan Peradaban
Proses pemanfaatan alam semesta dalam
kehidupan manusia diwujudkan dengan perbuatan dan aktivitas riil yang memiliki
nilai guna. Perbuatan atau aktivitas riil yang dijalankan manusia dimuka bumi
ini selanjutnya membentuk rentetan peristiwa, yang disebut dengan “sejarah”.
Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau rajanya.
Hidup tanpa sejarah adalah kehidupan yang dialami oleh manusia setelah
kematian. Karena dalam kehidupan pasca kematian manusia hanya diharuskan
mempertanggungjawabkan terhadap sejarah yang telah dibuat atau dibentuk selama
dalam kehidupannya di dunia. Dengan demikian, dalam kehidupannya di dunia,
manusia juga memiliki tujuan untuk membentuk sejarah dan peradabannya yang
baik, dan selanjutnya harus dipertanggungjawabkan di hadapatn Tuhannya.
D. Pemahaman manusia sekarang dan
masalalu
Urain dapat membentuk sejarahnya,
manusia harus selalu iqra’ atau membaca alam semesta. Dengan kata lain, manusia
harus menjadikan alam semesta sebagai media mengembangkan ilmu dan
pengetahuannya. Oleh karena itu, tujuan manusia membentuk sejarah dan peradaban
ini dapat dikatakan sebagai tujuan menjadi manusia yang “berilmu”.
Berdasarkan uraian tentang
tujuan-tujuan hidup manusia di atas, dapat ditarik benang merah, bahwa menurut
al-Qur’an manusia setidaknya memiliki 3 tujuan dalam hidupnya. Ketiga tujuan
tersebut adalah; pertama, menyembah kepada Allah Swt. (beriman). Kedua,
memakmurkan alam semesta untuk kemaslahatan (beramal) dan Ketiga, membentuk
sejarah dan peradabannya yang bermartabat (berilmu). Dengan kata lain, menurut
al-Qur’an, tugas atau tujuan pokok hidup manusia dimuka bumi ini sebenarnya
sangatlah sederhana, yakni menjadi manusia yang “beriman”, “beramal” dan
“berilmu”. Keterpaduan ketiga tujuan hidup manusia inilah yang menjadikan
manusia memiliki eksistensi dan kedudukan yang berbeda dari makhluk Allah
lainnya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebencian terhadap filsafat yang
abstrak dan kosong, serta keengganan terhadap kecenderungan filsafat yang ambisius
itu diperkuat lagi oleh adanya perkembangan ilmu-ilmu terapan (applied sciences) yang sangat pesat pada abad
keenambelas. Sejak penemuan Copericus (1473-1543) di bidang astronomi, ilmu-ilmu
alam telah membuktikan diri sebagai pengetahuan yang praktis, berguna dan yang memperlihatkan dampak
langsung bagi kehidupan manusia. Penemuan demi penemuan di bidang ilmu semakin
mengangkat pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang benar. Hal ini pun berpengaruh besar
dalam perkembangan filsafat. Banyak pemikir filsafat mulai mengalihkan perhatian mereka pada
metode yang ditempuh oleh ilmu pengetahuan, serta mengidealkan filsafat dengan metode
ilmiah yang sifatnya pasti. Dengan latar belakang inilah Descartes (1596-1650) misalnya,
merintis filsafat “Rasionalisme” dengan mengetengahkan pemikian sebagai konstruksi idea-idea dasar yang
jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte). Rasionalisme Descartes diikuti oleh para filsuf
sesudahnya yang mengarahkan perkembangan filsafat pada pendewaan “rasio” sebagai kriterium
utama pemikian. Lahirlah pada periode berikutnya jaman “Pencerahan” (Enlightment atau
Aufklarung) yang sangat menghargai akal budi. Kecenderungan ini dengan jelas memperlihatkan bahwa
manusia modern sesungguhnya tidak menolak filsafat, melainkan cara atau metode
pendekatannya saja yang terus menerus harus diperbaharui agar tetap relevan untuk kebutuhan perkembangan
peradaban.
B. Saran
Pada masa pergerakan
dikatakan sebagai masa permulaan perkembangan Di kehidupan manusia menjadi di muka bumi karena pada masa itu manusia
yang terdiri dari seorang nabi diutuskan ke bumi dan hidup di dunia yang luas dan banyak dihuni bayak kehidupan,
dan bermacam ragam tumbuhan dan buah-buahan yang segar.
Kehidupan manusia saat
ini sudah sangat baik dan moderen dan canggih dan banyak bangsa dan Negara di
duniah ini, dan sudah memiliki kehidupan yang layak
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
T. dan Surjomihardjo, A, (1985) Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan
Perspektif, Jakarta, PT. Gramedia: jakarta.
Adam,
Barbara (2000) “Waktu” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi
Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk,
Jakarta:
Raja Grafindo Persada, hlmn, 1096-1097. Adam, Barbara, (1990a) Time and Social
Theory, Cambridge, Simon & Schuster UK Ltd:
Adam,
Barbara (1990b) Time watch: The Social Analysis of Time, Cambridge: Simon
& Schuster UK Ltd
Al-Sharqawi,
Effat (1886) Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Penerbit Pustaka.
Anderson,
B. (1983) Immagined Communities, Reflection on the Origin and Spread of
Nationalism, London: The Thetford Press, Ltd..
Anderson, M. (1980) Approaches
to the History of the Western Family 1500-