Senin, 31 Desember 2012

KEDUDUKAN SEJARAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA

MAKALAH ACEH.COM
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang    
Dalam pembahasan ini sebelum kita berbicara mengenai Ilmu Sejarah ada baiknya kita melihat dulu bagai mana Ilmu dan Sejarah itu berkembang. Pada mulanya ilmu yang dikembangkan manusia hanya satu yaitu filsafat dimana manusia mengalami suatu persoalan hidup dimana manusia merasa heran, sangsi dan sadar akan keterbatasannya sebagai manusia. Hal ini akhirnya mendorong manusia untuk berpikir secara ilmiah (Filsafat). Setelah manusia berfilsafat ternyata masalah yang dihadapinya semakin rumit dan kompleks sehingga tidak bisa dijawab dengan cara filsafat
Lambat laun muncullah cabang-cabang ilmu termasuk Ilmu Sejarah, ilmu ini terikat pada prosedur penelitian ilmiah dan penalaran yang bersandar pada fakta (bahasa latin Factus berarti apa yang sudah selesai). Kebenaran ilmu sejarah terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber sejarah secara tuntas, sehingga diharapkan ia akan mengungkap sejarah secara objektif.
Tradisi Sejarah Manusia Masa Praaksara Manusia Indonesia sebelum mengenal aksara sudah memiliki tradisi sejarah. Maksud tradisi sejarah adalah bagaimana suatu Manusia memiliki kesadaran terhadap masa lalunya. Kesadaran tersebut kemudian dia rekam dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Perekaman dan pewarisan tersebut kemudian menjadi suatu tradisi yang hidup tumbuh dan berkembang dalam Manusia. Bagaimanakah Manusia yang belum mengenal tulisan merekam dan mewariskan masa lalunya? Bagaimanakah Manusia yang belum mengenal tulisan memaknai masa lalunya? Manusia dalam memahami masa lalunya akan ditentukan oleh alam pikiran Manusia pada masa itu atau “jiwa zaman”.
Alam pikiran Manusia yang belum mengenal tulisan sudah tentu berbeda dengan Manusia yang sudah mengenal tulisan. Tulisan pada dasarnya merupakan salah satu hasil dari alam pikiran manusia. Kehidupan manusia memperlihatkan adanya suatu kesinambungan waktu. Kesinambungan ini terlihat dalam tahap-tahap kehidupan manusia, misalnya mulai dia dilahirkan, masa kanak-kanak, masa dewasa, dan sampai orang tua. Dalam kesinambungan waktu itulah nampak terjadi perubahan-perubahan dari satu tahap ke tahap lainnya.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri Manusia dapat menjadi pengalaman hidup masa lalunya. Pemahaman terhadap masa lalunya selalu berkaitan dengan bagaimana Manusia tersebut melihat perubahan yang terjadi pada diri dan lingkungan di sekitarnya. Secara garis besar, perubahan dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu perubahan yang bersifat alami dan perubahan yang bersifat insani. Perubahan alami adalah perubahan yang terjadi pada alam itu sendiri seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, dan lain-lain. Adapun perubahan insani adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri manusia, baik bersifat individu maupun kelompok, misalnya kelahiran, peperangan, dan kejadian-kejadian lainnya.
Manusia yang belum mengenal tulisan melihat alam sebagai bagian yang terpenting dalam menentukan perubahan diri dan lingkungannya. Alam adalah pusat segala perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi, baik yang ada pada dirinya maupun lingkungannya, lebih banyak menempatkan alam sebagai penyebab utama perubahan tersebut. Sebab, alam merupakan pusat utama perubahan, maka manusia pada masa sebelum mengenal tulisan memperlakukan alam sebagai kekuatan yang harus dihormati bahkan dikultuskan. Alam memiliki kekuatan-kekuatan yang melahirkan suatu hukum keteraturan, yaitu hukum alam. Hukum alam inilah yang banyak mengatur perubahan pada diri manusia.
Dalam pemahaman sebagaimana diuraikan di atas, manusia pada masa belum mengenal tulisan melihat perubahan yang terjadi pada manusia yang bersumber dari kekuatan di luar diri manusia. Bahkan kekuatan itu bukan hanya bersumber dari alam akan tetapi bersumber pula dari kekuatan-kekuatan lain selain manusia. Kekuatan tersebut seperti dewa atau figur-figur tertentu yang memiliki kesaktian. Pemahaman seperti ini disebut dengan pemahaman yang bersifat religius magis.
Dalam pemikiran yang bersifat magis religius, pemikiran manusia dalam melihat asal usul kejadian tidaklah bersifat rasional atau masuk akal, tetapi bersifat irrasional. Manusia merupakan bagian dari sebuah kekuatan besar yang berada di luar dirinya. Pemikiran yang seperti ini tidak menempatkan manusia sebagai kekuatan yang otonom, artinya mandiri. Manusia adalah objek perubahan, bukan subjek perubahan. Dalam sebuah perubahan, manusia mempunyai kedudukan yang bersifat subordinatif. Pemikiran yang bersifat religio magis banyak bertebaran di Indonesia, misalnya dalam cerita asal usul mengenai suatu daerah diawali dengan datangnya seorang tokoh yang memiliki kesaktian. Tokoh tersebut dapat berupa dewa atau setengah dewa setengah manusia. Tokoh tersebut ditempatkan sebagai figur yang sentral. Kedatangannya ke daerah tersebut diutus oleh dewa tertinggi yang menguasai alam. Dalam cerita asal usul daerah itu, agar menjadi lebih manusiawi (ada peran manusia), biasanya diceritakan tokoh tersebut menikah dengan manusia. Pernikahan ini akan melahirkan keturunan dan keturunannya ini kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya daerah tersebut.
Begitu pula halnya dalam menjelaskan peristiwa alam. Perubahan yang terjadi pada alam dianggap sebagai suatu kehendak di luar kehendak manusia. Manusia hanya bersikap pasrah terhadap perubahan yang terjadi pada alam tersebut. Kehendak yang dimaksud dapat berupa kehendak dewa. Seperti terjadinya banjir atau bencana alam, lebih dipahami sebagai bentuk dari kehendak dewa. Kalau dikaitkan dengan perilaku manusia, kejadian alam itu dapat dipahami sebagai bentuk kutukan atau kemarahan dewa kepada manusia.
Kesadaran sejarah pada Manusia yang belum mengenal tulisan sudah terbentuk. Mereka berupaya agar tradisi sejarah yang mereka miliki dapat diwariskan kepada generasinya. Tujuan utama pewarisan tersebut yaitu pertama agar generasi penerusnya memiliki pengetahuan masa lalunya, dan tujuan yang lebih penting ialah pengetahuan itu harus menjadi suatu keyakinan. Keyakinan tersebut memiliki nilai-nilai yang mereka anggap berguna bagi kehidupan. Bahkan nilai-nilai tersebut menjadi pegangan hidup dalam membimbing jalan kehidupannya.
Cara pewarisan yang dilakukan ialah dengan bertutur dari mulut ke mulut. Hal ini dilakukan karena pada Manusia yang belum mengenal tulisan, tidak meninggalkan bukti sejarah dalam bentuk peninggalan tertulis. Penuturan melalui bercerita merupakan cara yang efektif untuk mewariskan kepada generasi berikutnya. Cara penceritaan tersebut kemudian dikenal dengan istilah tradisi lisan.
Dalam tradisi lisan, terdapat pesan-pesan yang banyak mengandung unsur kearifan. Pesan-pesan itu disampaikan secara verbal, sebab pada masa itu belum mengenal tulisan. Ada dua ciri penting tradisi lisan. Pertama, menyangkut pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapkan, dinyanyikan, atau disampaikan lewat musik. Berbeda halnya dengan Manusia yang sudah mengenal tulisan, pesan-pesan itu disampaikan dalam bentuk teks (tertulis). Ciri kedua ialah tradisi lisan berasal dari generasi sebelum generasi sekarang, paling sedikit satu generasi sebelumnya. Berbeda halnya dengan sejarah lisan (oral history), disusun bukan dari generasi sebelumnya tapi disusun oleh generasi sezaman. Asal tradisi lisan dari generasi sebelumnya karena memiliki fungsi pewarisan, sedangkan di dalam sejarah lisan tidak ada upaya untuk pewarisan.
Tradisi lisan biasa dibedakan menjadi beberapa jenis. Pertama, berupa “petuah-petuah” yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok, yang biasanya dinyatakan berulangulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapkan dapat menjadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. Rumusan kalimat atau kata-kata itu biasanya diusahakan untuk tidak diubah-ubah, meskipun dalam kenyataan perubahan itu biasa saja terjadi terutama sesudah melewati beberapa generasi, apalagi penerusannya bersifat lisan, sehingga sukar dicek dengan rumusan aslinya. Namun, karena kedudukannya yang sangat istimewa dalam kehidupan kelompok, maka tetap diyakini bahwa rumusan itu tidak berubah. Bentuk yang kedua dari tradisi lisan adalah “kisah” tentang kejadian-kejadian di sekitar kehidupan kelompok, baik sebagai kisah perorangan (personal tradition) atau sebagai kelompok (group account). Sesuai dengan alam pikiran Manusia yang magis religius, kisah-kisah ini yang sebenarnya berintikan suatu fakta tertentu, biasanya diselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, atau terjadi pencampuradukan antara fakta dengan kepercayaan itu. Cara penyampaian fakta memang seperti menyampaikan gosip (penuh dengan tambahan-tambahan menurut selera penuturnya), maka disebut pula dengan istilah “historical gossip” (gosip yang bernilai sejarah). Untuk kisah-kisah perseorangan atau keluarga ini diulang-ulang atau diingat-ingat dalam beberapa generasi, sehingga riwayat keluarga ini kemudian biasa menjadi milik kelompok yang sering dikeramatkan bagi generasi-generasi berikutnya, yang biasanya diperbaharui (ditambahkan) secara berkesinambungan.
Bentuk ketiga dari tradisi lisan yaitu “cerita kepahlawanan”. Cerita ini berisi bermacam-macam gambaran tentang tindakan-tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu (biasanya tokoh-tokoh pemimpin Manusia). Beberapa cerita kepahlawanan ini memang ada yang punya dimensi historis yang patut diperhatikan karena unsur fakta sejarahnya yang masih bisa ditelusuri, tetapi pada umumnya sudah terselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, sehingga kadang-kadang dianggap lebih bersifat hasil sastra. Keempat, yaitu bentuk cerita “dongeng” yang umumnya bersifat fiksi belaka. Tentu saja unsur faktanya boleh dikatakan tidak ada, dan memang biasanya terutama berfungsi untuk menyenangkan (menghibur) pendengarnya meskipun sering di dalamnya terkandung unsur-unsur petuah.
B.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang saya kemukakan berdasarkan latar belakang diatas ialah:
  1. Apa Pengertian Kedudukan Sejarah dalam kehidupan manusia?
  2. Bagaiaman Kedudukan Manusia masa lampaou?
  3. Apa tujuan hidup manusia?
  4. Pemahaman manusia sekarang dan masalalu?

C.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yang kelompok kemukakan berdasarkan masalah-masalah yang akan dibahas adalah:
  1. Untuk menjelaskan pengertian Sejarah.
  2. Untuk menjelaskan kedudukan manusia di muka bumi.
  3. Untuk menjelaskan kegunaan kehidupan ini.
  4. Nilai-nilai yang bermoral bagi kehidupan sesama.
D.   Fungsi utama dalam tradisi
Pewarisan dan perekaman terhadap apa yang terjadi pada masa lalu menurut pandangan suatu kelompok Manusia. Bagi Manusia yang belum mengenal tulisan, tradisi lisan yang lebih dipentingkan ialah meyakini apa yang diceritakannya. Pengetahuan terhadap apa yang diceritakan dalam tradisi lisan bukanlah tujuan penting. Tradisi lisan merupakan bagian dari budaya bagi Manusia yang memegangnya. Sebagai suatu aspek budaya, maka kepentingan untuk menjelaskan atau memahami lingkungan sekitar itu sekaligus sebagai usaha memberi pegangan kepada Manusia terutama generasi berikutnya dalam menghadapi berbagai kemungkinan dari lingkungan itu. Di sini tradisi lisan berfungsi sebagai alat “mnemonik”, yaitu usaha untuk merekam, menyusun, dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keyakinan Manusia pendukung tradisi lisan disebabkan oleh adanya nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut. Mereka tidak terlalu memperhatikan apakah faktanya mengandung kebenaran, apakah faktanya secara nyata ada. Nilai-nilai tersebut misalnya keteladanan, keberanian, kejujuran, kekeluargaan, penghormatan terhadap leluhur, kecintaan, kasih sayang, dan lain-lain. Nilai-nilai yang ada dalam tradisi itu disebut juga dengan kearifan lokal. Disebut demikian karena nilai-nilai yang terkandung banyak mengandung sikap-sikap yang arif, bahkan dalam konteks sekarang nilai-nilai itu sangat berguna untuk diterapkan.





























BAB II
KEDUDUKAN SEJARAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA


A.   Pengertian
Sejarah juga harus dilihat sebagai ilmu pengetahuan yang ilmiah. Pada posisi ini, meskipun sejarah dapat dilihat sebagai seni, namun sejarah tetaplah sebuah ilmu pengetahuan yang mempunyai metodologi ilmiah yang bertanggung jawab. Dengan demikian sejarah tidak dapat disamakan dengan sastra. Penelitian sejarah secara mutlak harus berdasarkan fakta sejarah yang dapat dipercaya.
1. Pengertian Secara Negatif
Banyak penulis yang menyatakan pendapatnya dengan menggunakan sejarah sebagai latar belakang. Kalian dapat bukatikan itu di koran-koran, pidato-pidato, atau bahkan ketika kalian berdebat dengan teman kalian, pasti berpikir tentang masa lalu terjadi. untuk menyelesaikan masalah saat ini, kita harus melihat dulu masa lalu. Kita harus mempelajari apa sebenarnya kesalahan yang terjadi di masa lampau. Selain itu kita juga bisa mencoba strategi-strategi kehidupan yang berhasil di masa lalu. Sejarah dapat memberikan gambaran dan pengalaman-pengalaman yang berguna pada masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, barulah kita bisa memberi saran, pendapat, bagi manusia saat ini. Pendapat tersebut berupa usulan-usulan agar kesalahan-kesalahan yang lalu tidak terulangi dan prestasi-prestasi di masa lalu dapat diulangi.

2. Pengertian Secara Positif
Tahukan kalian apa itu Ilmu Pengetahuan? Ilmu Pengetahuan adalah jawaban teoritis terhadap masalah manusia. Jadi ilmu yang banyak kalian pelajari, bukanlah sebuah paksaan, karena tujuan akhirnya kalian sebagai orang terdidik harus mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan ini. Demikian pula ilmu sejarah, karena sebagai ilmu, sejarah pun berbagi dengan ilmu lain untuk memecahkan masalah kehidupan ini. Sejarah ingin memecahkan masalah manusia yang terkait dengan masa lalu, yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Karena sebagai ilmu, sejarah tentu saja menggunakan metode penelitian ilmiah, yang bertanggung jawab, dan terukur. Sehingga ilmu sejarah, tidak terperosok menjadi pendapat semata, yang menyesatkan.

3.  Sebagai cara mengetahui masa lampau
     Dengan demikian, sejarah akan mendayagunakan metode ilmiahnya untuk dapat mengetahui masa lalu. Masa lalu harus terpecahkan! Ilmu sejarah membantu kita memahami berbagai peristiwa yang mempengaruhi peradaban umat manusia sepanjang masa. Untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah sekarang, manusia harus berdialog dengan masa lalu. Itulah salah satu kegunaan sejarah. Belajar sejarah dengan baik akan membantu kita menemukan jati diri, karakter dan kebanggan bangsa Indonesia.

4.  Sejarah Bukan Filsafat
Belajar sejarah itu perlu berpikir, perlu logika. Sejarah harus dilihat dalam hubungan sebab-akibat (kausalitas) yang ada dalam setiap peristiwa sejarah. Ibaratkan pepatah “ada asap ada api”, “ada gula ada semut”, sejarah selalu mendorong peneliti dan pembacanya untuk menemukan sebab dari sebuah peristiwa. Hal ini menyebabkan belajar sejarah harus membuat orang berpikir plurikausal (pluri=banyak; kausal=sebab).
Dengan belajar sejarah, secara tidak langsung kita juga akan kritis dalam memandang sehala sesuatu. Oleh sebab itu sejarah dapat dikatakan, secara tidak langsung menjadi pendidikan penalaran (nalar=berpikir dengan kaidah yang benar).
Alasan ini pula yang mengidentikkan belajar sejarah dengan kebijaksanaan dan menjadi kuliah wajib bagi para keluarga bangsawan di Inggris. Tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Jawaharlal Nehru, Mahatma Gandhi, F.D. Roosevelt, Winston Churchil, Kennedy dan banyak tokoh besar lainnya adalah pencinta sejarah. Jika suatu saat kalian nanti menjadi tokoh besar, ingatlah perkataan saya “sejarah itu penting dan berguna”, dan buktikan apa saya benar atau salah.

a.  Sebagai pendidikan politik
Ada pernyatan umum yang mengatakan, sejarah itu adalah sejarah tentang politik. Sejarah banyak sekali membahas mengenai sejarah politik, bahkan selama ini sejarah selalu identik dengan politik. Dari jaman suku-suku kecil, kerajaan-kerajaan, hingga terbentuknya negara modern, semua dipelajari dalam sejarah. Para politikus dan organisasi-organisasi massa belajar sejarah untuk mengkaji kebijakan-kebijakan di masa lalu. Misalnya kebijakan ekonomi harus melihat sejarah perekonomian suatu bangsa, sehingga kegagalan-kegagalan dapat diminimalisir.
Dalam hal ini, sejarah secara tidak langsung juga menjadikan pembacanya, penelitinya mengerti tentang politik, sejarah menjadi pendidikan politik.
b.  Sebagai pendidikan perubahan
Bagaimana perkembangan (sejarah) hidupmu? Yah, kamu dulu hanya bayi kecil yang bergantung pada ibu, lalu kamu remaja, dewasa, dan nantinya tua juga. Sejarah juga belajar tentang perkembangan tersebut, dari awal dulu, hingga sekarang, dan ternyata dunia selalu berubah. Belajar sejarah, berarti juga belajar untuk berubah, belajar untuk bergerak, dan melakukan pembaharuan.
Sejarah tidak hanya mempelajari masa lalu untuk kepentingan masa lalu saja. Sejarah sebagai kisah nyata pengalaman hidup manusia dapat digunakan untuk memprediksi dan mengantisipasi kejadian berikutnya/masa depan yang memiliki kecenderungan yang sama. Sehingga secara tidak langsung, sejarah mengajak kita untuk “Berubah!”, memperbaiki yang kurang, dan meningkatkan yang lebih. Mari kita berubah!

B.  Menjelaskan kedudukan manusia di muka bumi.
Allah menciptakan alam semesta (termasuk manusia) tidaklah dengan palsu dan sia-sia (QS. As-Shod ayat 27). Segala ciptaan-Nya mengandung maksud dan manfaat. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang paling mulia, sekaligus sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus meyadari terhadap tujuan hidupnya. Dalam konteks ini, al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia memiliki bebrapa tujuan hidup, diantaranya adalah sebagai berikut;
1.    Menyembah Kepada Allah (Beriman)
Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan sendirinya. Manusia diciptakan oleh Allah, dengan dibekali potensi dan infrastruktur yang sangat unik. Keunikan dan kesempurnaan bentuk manusia ini bukan saja dilihat dari bentuknya, akan tetapi juga dari karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia. Sebagai ciptaan, manusia dituntut memiliki kesadaran terhadap posisi dan kedudukan dirinya di hadapan Tuhan. Dalam konteks ini, posisi manusia dihadapan Tuhan adalah bagaikan “hamba” dengan “majikan” atau “abdi” dengan “raja”, yang harus menunjukan sifat pengabdiaan dan kepatuhan.
Makan beribadah sebagaimana dikemukakan di atas (mentaati segala perintah dan menjauhi larangan Allah) merupakan makna ibdah secara umum. Dalam tataran praktis, ibadah secara umum dapat diimplementasikan dalam setiap aktivitas yang diniatkan untuk menggapai keridlaan-Nya, seperti bekerja secara professional, mendidik anak, berdakwah dan lain sebagainya. Dengan demikian, misi hidup manusia untuk beribadah kepada Allah dapat diwujudkan dalam segala aktivitas yang bertujuan mencari ridla Allah (mardlotillah).
Sedangkan secara khusus, ibadah dapat dipahami sebagai ketaatan terhadap hukum syara’ yang mengatur hubungan vertical-transendental (manusia dengan Allah). Hukum syara’ ini selalu berkaitan dengan amal manusia yang diorientasikan untuk menjalankan kewajiban ‘ubudiyah manusia, seperti menunaikan ibadah shalat, menjalankan ibadah puasa, memberikan zakat, pergi haji dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan hidup manusia yang pertama adalah menyembah kepada Allah. Dalam pengertian yang lebih sederhana, tujuan ini dapat disebut dengan “beriman”. Manusia memiliki keharusan menjadi individu yang beriman kepada Allah (tauhid). Beriman merupakan kebalikan dari syirik, sehingga dalam kehidupannya manusa sama sekali tidak dibenarkan menyekutukan Allah dengan segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini (Syirik).
2.    Memanfaatkan Alam Semesta.
Perintah memakmurkan alam, berarti perintah untuk menjadikan alam semesta sebagai media mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di muka bumi. Al-Qur’an menekankan bahwa Allah tidak pernah tak perduli dengan ciptaan-Nya. Ia telah menciptakan bumi sebanyak Ia menciptakan langit, yang kesemuanya dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan lahir dan batin manusia. Ia telah menciptakan segala sesuatu untuk kepentingan manusia. Bintang diciptakan untuk membantu manusia dalam pelayaran, bulan dan matahari diciptakan sebagai dasar penanggalan. Demikian juga dengan realitas kealaman yang lainnya, diciptakan adalah dengan membekal maksud untuk kemaslahatan manusia.
Untuk menjadikan realitas kealaman dapat dimanfaatkan oleh manusia, Allah telah membekalinya dengan potensi akal. Di samping itu, Allah juga telah mengajarkan kepada manusia terhadap nama-nama benda yang ada di alam semesta. Semua ini diberikan oleh Allah adalah sebagai bekal untuk menjadikan alam semesta sebagai media membentuk kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Dalam hal ini Allah menegaskan bahwa manusia harus mengembara dimuka bumi, dan menjadikan seluruh fenomena kelaman sebagai pelajaran untuk meraih kebahagian hidupnya (QS. Al-Ankabut ayat 20 dan QS. Al-Qashash ayat 20).
Berdasarkan uraian di atas, maka sangat jelas bahwa dalam kehidupannya manusia memiliki tujuan untuk memakmurkan alam semesta. Implementasi tujuan ini dapat diwujudkan dalam bentuk mengambil i’tibar (pelajaran), menunjukan sikap sportif dan inovatif serta selalu berbuat yang bermanfaat untuk diri dan lingkungannya. Dalam konteks hubungannya dengan alam semesta, dalam kehidupannya manusia memiliki tujuan untuk melakukan kerja perekayasaan agar segala yang ada di alam semesta ini dapat bermanfaat bagi kehidupannya. Dengan kata lain, tujuan hidup manusia yang semacam ini dapat dikatakan dengan tujuan untuk “beramal”.

C.  Tujuan hidup manusia Sejarah Dan Peradaban
Proses pemanfaatan alam semesta dalam kehidupan manusia diwujudkan dengan perbuatan dan aktivitas riil yang memiliki nilai guna. Perbuatan atau aktivitas riil yang dijalankan manusia dimuka bumi ini selanjutnya membentuk rentetan peristiwa, yang disebut dengan “sejarah”. Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau rajanya. Hidup tanpa sejarah adalah kehidupan yang dialami oleh manusia setelah kematian. Karena dalam kehidupan pasca kematian manusia hanya diharuskan mempertanggungjawabkan terhadap sejarah yang telah dibuat atau dibentuk selama dalam kehidupannya di dunia. Dengan demikian, dalam kehidupannya di dunia, manusia juga memiliki tujuan untuk membentuk sejarah dan peradabannya yang baik, dan selanjutnya harus dipertanggungjawabkan di hadapatn Tuhannya.

D.  Pemahaman manusia sekarang dan masalalu
Urain dapat membentuk sejarahnya, manusia harus selalu iqra’ atau membaca alam semesta. Dengan kata lain, manusia harus menjadikan alam semesta sebagai media mengembangkan ilmu dan pengetahuannya. Oleh karena itu, tujuan manusia membentuk sejarah dan peradaban ini dapat dikatakan sebagai tujuan menjadi manusia yang “berilmu”.
Berdasarkan uraian tentang tujuan-tujuan hidup manusia di atas, dapat ditarik benang merah, bahwa menurut al-Qur’an manusia setidaknya memiliki 3 tujuan dalam hidupnya. Ketiga tujuan tersebut adalah; pertama, menyembah kepada Allah Swt. (beriman). Kedua, memakmurkan alam semesta untuk kemaslahatan (beramal) dan Ketiga, membentuk sejarah dan peradabannya yang bermartabat (berilmu). Dengan kata lain, menurut al-Qur’an, tugas atau tujuan pokok hidup manusia dimuka bumi ini sebenarnya sangatlah sederhana, yakni menjadi manusia yang “beriman”, “beramal” dan “berilmu”. Keterpaduan ketiga tujuan hidup manusia inilah yang menjadikan manusia memiliki eksistensi dan kedudukan yang berbeda dari makhluk Allah lainnya.




















BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
Kebencian terhadap filsafat yang abstrak dan kosong, serta keengganan terhadap kecenderungan filsafat yang ambisius itu diperkuat lagi oleh adanya perkembangan ilmu-ilmu terapan ‎‎(applied sciences) yang sangat pesat pada abad keenambelas. Sejak penemuan Copericus (1473-‎‎1543) di bidang astronomi, ilmu-ilmu alam telah membuktikan diri sebagai pengetahuan yang praktis, berguna dan yang memperlihatkan dampak langsung bagi kehidupan manusia. Penemuan demi penemuan di bidang ilmu semakin mengangkat pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang benar. Hal ini pun berpengaruh besar dalam perkembangan filsafat. Banyak pemikir filsafat mulai mengalihkan perhatian mereka pada metode yang ditempuh oleh ilmu pengetahuan, serta mengidealkan filsafat dengan metode ilmiah yang sifatnya pasti. Dengan latar belakang inilah Descartes (1596-1650) misalnya, merintis filsafat “Rasionalisme” dengan mengetengahkan pemikian sebagai konstruksi idea-idea dasar yang jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte). Rasionalisme Descartes diikuti oleh para filsuf sesudahnya yang mengarahkan perkembangan filsafat pada pendewaan “rasio” sebagai kriterium utama pemikian. Lahirlah pada periode berikutnya jaman ‎‎“Pencerahan” (Enlightment atau Aufklarung) yang sangat menghargai akal budi. Kecenderungan ini dengan jelas memperlihatkan bahwa manusia modern sesungguhnya tidak menolak filsafat, melainkan cara atau metode pendekatannya saja yang terus menerus harus diperbaharui agar tetap relevan untuk kebutuhan perkembangan peradaban.


B.    Saran
Pada masa pergerakan dikatakan sebagai masa permulaan perkembangan Di kehidupan manusia menjadi  di muka bumi karena pada masa itu manusia yang terdiri dari seorang nabi diutuskan ke bumi dan hidup di  dunia yang luas dan banyak dihuni bayak kehidupan, dan bermacam ragam tumbuhan dan buah-buahan yang segar.
Kehidupan manusia saat ini sudah sangat baik dan moderen dan canggih dan banyak bangsa dan Negara di duniah ini, dan sudah memiliki kehidupan yang layak








DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. dan Surjomihardjo, A, (1985) Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif, Jakarta, PT. Gramedia: jakarta.
Adam, Barbara (2000) “Waktu” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn, 1096-1097. Adam, Barbara, (1990a) Time and Social Theory, Cambridge, Simon & Schuster UK Ltd:
Adam, Barbara (1990b) Time watch: The Social Analysis of Time, Cambridge: Simon & Schuster UK Ltd
Al-Sharqawi, Effat (1886) Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Penerbit Pustaka.
Anderson, B. (1983) Immagined Communities, Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, London: The Thetford Press, Ltd..
Anderson, M. (1980) Approaches to the History of the Western Family 1500-

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang    
Dalam pembahasan ini sebelum kita berbicara mengenai Ilmu Sejarah ada baiknya kita melihat dulu bagai mana Ilmu dan Sejarah itu berkembang. Pada mulanya ilmu yang dikembangkan manusia hanya satu yaitu filsafat dimana manusia mengalami suatu persoalan hidup dimana manusia merasa heran, sangsi dan sadar akan keterbatasannya sebagai manusia. Hal ini akhirnya mendorong manusia untuk berpikir secara ilmiah (Filsafat). Setelah manusia berfilsafat ternyata masalah yang dihadapinya semakin rumit dan kompleks sehingga tidak bisa dijawab dengan cara filsafat
Lambat laun muncullah cabang-cabang ilmu termasuk Ilmu Sejarah, ilmu ini terikat pada prosedur penelitian ilmiah dan penalaran yang bersandar pada fakta (bahasa latin Factus berarti apa yang sudah selesai). Kebenaran ilmu sejarah terletak dalam kesediaan sejarawan untuk meneliti sumber sejarah secara tuntas, sehingga diharapkan ia akan mengungkap sejarah secara objektif.
Tradisi Sejarah Manusia Masa Praaksara Manusia Indonesia sebelum mengenal aksara sudah memiliki tradisi sejarah. Maksud tradisi sejarah adalah bagaimana suatu Manusia memiliki kesadaran terhadap masa lalunya. Kesadaran tersebut kemudian dia rekam dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Perekaman dan pewarisan tersebut kemudian menjadi suatu tradisi yang hidup tumbuh dan berkembang dalam Manusia. Bagaimanakah Manusia yang belum mengenal tulisan merekam dan mewariskan masa lalunya? Bagaimanakah Manusia yang belum mengenal tulisan memaknai masa lalunya? Manusia dalam memahami masa lalunya akan ditentukan oleh alam pikiran Manusia pada masa itu atau “jiwa zaman”.
Alam pikiran Manusia yang belum mengenal tulisan sudah tentu berbeda dengan Manusia yang sudah mengenal tulisan. Tulisan pada dasarnya merupakan salah satu hasil dari alam pikiran manusia. Kehidupan manusia memperlihatkan adanya suatu kesinambungan waktu. Kesinambungan ini terlihat dalam tahap-tahap kehidupan manusia, misalnya mulai dia dilahirkan, masa kanak-kanak, masa dewasa, dan sampai orang tua. Dalam kesinambungan waktu itulah nampak terjadi perubahan-perubahan dari satu tahap ke tahap lainnya.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri Manusia dapat menjadi pengalaman hidup masa lalunya. Pemahaman terhadap masa lalunya selalu berkaitan dengan bagaimana Manusia tersebut melihat perubahan yang terjadi pada diri dan lingkungan di sekitarnya. Secara garis besar, perubahan dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu perubahan yang bersifat alami dan perubahan yang bersifat insani. Perubahan alami adalah perubahan yang terjadi pada alam itu sendiri seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, dan lain-lain. Adapun perubahan insani adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada diri manusia, baik bersifat individu maupun kelompok, misalnya kelahiran, peperangan, dan kejadian-kejadian lainnya.
Manusia yang belum mengenal tulisan melihat alam sebagai bagian yang terpenting dalam menentukan perubahan diri dan lingkungannya. Alam adalah pusat segala perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi, baik yang ada pada dirinya maupun lingkungannya, lebih banyak menempatkan alam sebagai penyebab utama perubahan tersebut. Sebab, alam merupakan pusat utama perubahan, maka manusia pada masa sebelum mengenal tulisan memperlakukan alam sebagai kekuatan yang harus dihormati bahkan dikultuskan. Alam memiliki kekuatan-kekuatan yang melahirkan suatu hukum keteraturan, yaitu hukum alam. Hukum alam inilah yang banyak mengatur perubahan pada diri manusia.
Dalam pemahaman sebagaimana diuraikan di atas, manusia pada masa belum mengenal tulisan melihat perubahan yang terjadi pada manusia yang bersumber dari kekuatan di luar diri manusia. Bahkan kekuatan itu bukan hanya bersumber dari alam akan tetapi bersumber pula dari kekuatan-kekuatan lain selain manusia. Kekuatan tersebut seperti dewa atau figur-figur tertentu yang memiliki kesaktian. Pemahaman seperti ini disebut dengan pemahaman yang bersifat religius magis.
Dalam pemikiran yang bersifat magis religius, pemikiran manusia dalam melihat asal usul kejadian tidaklah bersifat rasional atau masuk akal, tetapi bersifat irrasional. Manusia merupakan bagian dari sebuah kekuatan besar yang berada di luar dirinya. Pemikiran yang seperti ini tidak menempatkan manusia sebagai kekuatan yang otonom, artinya mandiri. Manusia adalah objek perubahan, bukan subjek perubahan. Dalam sebuah perubahan, manusia mempunyai kedudukan yang bersifat subordinatif. Pemikiran yang bersifat religio magis banyak bertebaran di Indonesia, misalnya dalam cerita asal usul mengenai suatu daerah diawali dengan datangnya seorang tokoh yang memiliki kesaktian. Tokoh tersebut dapat berupa dewa atau setengah dewa setengah manusia. Tokoh tersebut ditempatkan sebagai figur yang sentral. Kedatangannya ke daerah tersebut diutus oleh dewa tertinggi yang menguasai alam. Dalam cerita asal usul daerah itu, agar menjadi lebih manusiawi (ada peran manusia), biasanya diceritakan tokoh tersebut menikah dengan manusia. Pernikahan ini akan melahirkan keturunan dan keturunannya ini kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya daerah tersebut.
Begitu pula halnya dalam menjelaskan peristiwa alam. Perubahan yang terjadi pada alam dianggap sebagai suatu kehendak di luar kehendak manusia. Manusia hanya bersikap pasrah terhadap perubahan yang terjadi pada alam tersebut. Kehendak yang dimaksud dapat berupa kehendak dewa. Seperti terjadinya banjir atau bencana alam, lebih dipahami sebagai bentuk dari kehendak dewa. Kalau dikaitkan dengan perilaku manusia, kejadian alam itu dapat dipahami sebagai bentuk kutukan atau kemarahan dewa kepada manusia.
Kesadaran sejarah pada Manusia yang belum mengenal tulisan sudah terbentuk. Mereka berupaya agar tradisi sejarah yang mereka miliki dapat diwariskan kepada generasinya. Tujuan utama pewarisan tersebut yaitu pertama agar generasi penerusnya memiliki pengetahuan masa lalunya, dan tujuan yang lebih penting ialah pengetahuan itu harus menjadi suatu keyakinan. Keyakinan tersebut memiliki nilai-nilai yang mereka anggap berguna bagi kehidupan. Bahkan nilai-nilai tersebut menjadi pegangan hidup dalam membimbing jalan kehidupannya.
Cara pewarisan yang dilakukan ialah dengan bertutur dari mulut ke mulut. Hal ini dilakukan karena pada Manusia yang belum mengenal tulisan, tidak meninggalkan bukti sejarah dalam bentuk peninggalan tertulis. Penuturan melalui bercerita merupakan cara yang efektif untuk mewariskan kepada generasi berikutnya. Cara penceritaan tersebut kemudian dikenal dengan istilah tradisi lisan.
Dalam tradisi lisan, terdapat pesan-pesan yang banyak mengandung unsur kearifan. Pesan-pesan itu disampaikan secara verbal, sebab pada masa itu belum mengenal tulisan. Ada dua ciri penting tradisi lisan. Pertama, menyangkut pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang diucapkan, dinyanyikan, atau disampaikan lewat musik. Berbeda halnya dengan Manusia yang sudah mengenal tulisan, pesan-pesan itu disampaikan dalam bentuk teks (tertulis). Ciri kedua ialah tradisi lisan berasal dari generasi sebelum generasi sekarang, paling sedikit satu generasi sebelumnya. Berbeda halnya dengan sejarah lisan (oral history), disusun bukan dari generasi sebelumnya tapi disusun oleh generasi sezaman. Asal tradisi lisan dari generasi sebelumnya karena memiliki fungsi pewarisan, sedangkan di dalam sejarah lisan tidak ada upaya untuk pewarisan.
Tradisi lisan biasa dibedakan menjadi beberapa jenis. Pertama, berupa “petuah-petuah” yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti khusus bagi kelompok, yang biasanya dinyatakan berulangulang untuk menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapkan dapat menjadi pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. Rumusan kalimat atau kata-kata itu biasanya diusahakan untuk tidak diubah-ubah, meskipun dalam kenyataan perubahan itu biasa saja terjadi terutama sesudah melewati beberapa generasi, apalagi penerusannya bersifat lisan, sehingga sukar dicek dengan rumusan aslinya. Namun, karena kedudukannya yang sangat istimewa dalam kehidupan kelompok, maka tetap diyakini bahwa rumusan itu tidak berubah. Bentuk yang kedua dari tradisi lisan adalah “kisah” tentang kejadian-kejadian di sekitar kehidupan kelompok, baik sebagai kisah perorangan (personal tradition) atau sebagai kelompok (group account). Sesuai dengan alam pikiran Manusia yang magis religius, kisah-kisah ini yang sebenarnya berintikan suatu fakta tertentu, biasanya diselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, atau terjadi pencampuradukan antara fakta dengan kepercayaan itu. Cara penyampaian fakta memang seperti menyampaikan gosip (penuh dengan tambahan-tambahan menurut selera penuturnya), maka disebut pula dengan istilah “historical gossip” (gosip yang bernilai sejarah). Untuk kisah-kisah perseorangan atau keluarga ini diulang-ulang atau diingat-ingat dalam beberapa generasi, sehingga riwayat keluarga ini kemudian biasa menjadi milik kelompok yang sering dikeramatkan bagi generasi-generasi berikutnya, yang biasanya diperbaharui (ditambahkan) secara berkesinambungan.
Bentuk ketiga dari tradisi lisan yaitu “cerita kepahlawanan”. Cerita ini berisi bermacam-macam gambaran tentang tindakan-tindakan kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasanya berpusat pada tokoh-tokoh tertentu (biasanya tokoh-tokoh pemimpin Manusia). Beberapa cerita kepahlawanan ini memang ada yang punya dimensi historis yang patut diperhatikan karena unsur fakta sejarahnya yang masih bisa ditelusuri, tetapi pada umumnya sudah terselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, sehingga kadang-kadang dianggap lebih bersifat hasil sastra. Keempat, yaitu bentuk cerita “dongeng” yang umumnya bersifat fiksi belaka. Tentu saja unsur faktanya boleh dikatakan tidak ada, dan memang biasanya terutama berfungsi untuk menyenangkan (menghibur) pendengarnya meskipun sering di dalamnya terkandung unsur-unsur petuah.
B.  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang saya kemukakan berdasarkan latar belakang diatas ialah:
  1. Apa Pengertian Kedudukan Sejarah dalam kehidupan manusia?
  2. Bagaiaman Kedudukan Manusia masa lampaou?
  3. Apa tujuan hidup manusia?
  4. Pemahaman manusia sekarang dan masalalu?

C.  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan yang kelompok kemukakan berdasarkan masalah-masalah yang akan dibahas adalah:
  1. Untuk menjelaskan pengertian Sejarah.
  2. Untuk menjelaskan kedudukan manusia di muka bumi.
  3. Untuk menjelaskan kegunaan kehidupan ini.
  4. Nilai-nilai yang bermoral bagi kehidupan sesama.
D.   Fungsi utama dalam tradisi
Pewarisan dan perekaman terhadap apa yang terjadi pada masa lalu menurut pandangan suatu kelompok Manusia. Bagi Manusia yang belum mengenal tulisan, tradisi lisan yang lebih dipentingkan ialah meyakini apa yang diceritakannya. Pengetahuan terhadap apa yang diceritakan dalam tradisi lisan bukanlah tujuan penting. Tradisi lisan merupakan bagian dari budaya bagi Manusia yang memegangnya. Sebagai suatu aspek budaya, maka kepentingan untuk menjelaskan atau memahami lingkungan sekitar itu sekaligus sebagai usaha memberi pegangan kepada Manusia terutama generasi berikutnya dalam menghadapi berbagai kemungkinan dari lingkungan itu. Di sini tradisi lisan berfungsi sebagai alat “mnemonik”, yaitu usaha untuk merekam, menyusun, dan menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keyakinan Manusia pendukung tradisi lisan disebabkan oleh adanya nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut. Mereka tidak terlalu memperhatikan apakah faktanya mengandung kebenaran, apakah faktanya secara nyata ada. Nilai-nilai tersebut misalnya keteladanan, keberanian, kejujuran, kekeluargaan, penghormatan terhadap leluhur, kecintaan, kasih sayang, dan lain-lain. Nilai-nilai yang ada dalam tradisi itu disebut juga dengan kearifan lokal. Disebut demikian karena nilai-nilai yang terkandung banyak mengandung sikap-sikap yang arif, bahkan dalam konteks sekarang nilai-nilai itu sangat berguna untuk diterapkan.





























BAB II
KEDUDUKAN SEJARAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA


A.   Pengertian
Sejarah juga harus dilihat sebagai ilmu pengetahuan yang ilmiah. Pada posisi ini, meskipun sejarah dapat dilihat sebagai seni, namun sejarah tetaplah sebuah ilmu pengetahuan yang mempunyai metodologi ilmiah yang bertanggung jawab. Dengan demikian sejarah tidak dapat disamakan dengan sastra. Penelitian sejarah secara mutlak harus berdasarkan fakta sejarah yang dapat dipercaya.
1. Pengertian Secara Negatif
Banyak penulis yang menyatakan pendapatnya dengan menggunakan sejarah sebagai latar belakang. Kalian dapat bukatikan itu di koran-koran, pidato-pidato, atau bahkan ketika kalian berdebat dengan teman kalian, pasti berpikir tentang masa lalu terjadi. untuk menyelesaikan masalah saat ini, kita harus melihat dulu masa lalu. Kita harus mempelajari apa sebenarnya kesalahan yang terjadi di masa lampau. Selain itu kita juga bisa mencoba strategi-strategi kehidupan yang berhasil di masa lalu. Sejarah dapat memberikan gambaran dan pengalaman-pengalaman yang berguna pada masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, barulah kita bisa memberi saran, pendapat, bagi manusia saat ini. Pendapat tersebut berupa usulan-usulan agar kesalahan-kesalahan yang lalu tidak terulangi dan prestasi-prestasi di masa lalu dapat diulangi.

2. Pengertian Secara Positif
Tahukan kalian apa itu Ilmu Pengetahuan? Ilmu Pengetahuan adalah jawaban teoritis terhadap masalah manusia. Jadi ilmu yang banyak kalian pelajari, bukanlah sebuah paksaan, karena tujuan akhirnya kalian sebagai orang terdidik harus mampu memecahkan berbagai masalah kehidupan ini. Demikian pula ilmu sejarah, karena sebagai ilmu, sejarah pun berbagi dengan ilmu lain untuk memecahkan masalah kehidupan ini. Sejarah ingin memecahkan masalah manusia yang terkait dengan masa lalu, yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Karena sebagai ilmu, sejarah tentu saja menggunakan metode penelitian ilmiah, yang bertanggung jawab, dan terukur. Sehingga ilmu sejarah, tidak terperosok menjadi pendapat semata, yang menyesatkan.

3.  Sebagai cara mengetahui masa lampau
     Dengan demikian, sejarah akan mendayagunakan metode ilmiahnya untuk dapat mengetahui masa lalu. Masa lalu harus terpecahkan! Ilmu sejarah membantu kita memahami berbagai peristiwa yang mempengaruhi peradaban umat manusia sepanjang masa. Untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah sekarang, manusia harus berdialog dengan masa lalu. Itulah salah satu kegunaan sejarah. Belajar sejarah dengan baik akan membantu kita menemukan jati diri, karakter dan kebanggan bangsa Indonesia.

4.  Sejarah Bukan Filsafat
Belajar sejarah itu perlu berpikir, perlu logika. Sejarah harus dilihat dalam hubungan sebab-akibat (kausalitas) yang ada dalam setiap peristiwa sejarah. Ibaratkan pepatah “ada asap ada api”, “ada gula ada semut”, sejarah selalu mendorong peneliti dan pembacanya untuk menemukan sebab dari sebuah peristiwa. Hal ini menyebabkan belajar sejarah harus membuat orang berpikir plurikausal (pluri=banyak; kausal=sebab).
Dengan belajar sejarah, secara tidak langsung kita juga akan kritis dalam memandang sehala sesuatu. Oleh sebab itu sejarah dapat dikatakan, secara tidak langsung menjadi pendidikan penalaran (nalar=berpikir dengan kaidah yang benar).
Alasan ini pula yang mengidentikkan belajar sejarah dengan kebijaksanaan dan menjadi kuliah wajib bagi para keluarga bangsawan di Inggris. Tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Jawaharlal Nehru, Mahatma Gandhi, F.D. Roosevelt, Winston Churchil, Kennedy dan banyak tokoh besar lainnya adalah pencinta sejarah. Jika suatu saat kalian nanti menjadi tokoh besar, ingatlah perkataan saya “sejarah itu penting dan berguna”, dan buktikan apa saya benar atau salah.

a.  Sebagai pendidikan politik
Ada pernyatan umum yang mengatakan, sejarah itu adalah sejarah tentang politik. Sejarah banyak sekali membahas mengenai sejarah politik, bahkan selama ini sejarah selalu identik dengan politik. Dari jaman suku-suku kecil, kerajaan-kerajaan, hingga terbentuknya negara modern, semua dipelajari dalam sejarah. Para politikus dan organisasi-organisasi massa belajar sejarah untuk mengkaji kebijakan-kebijakan di masa lalu. Misalnya kebijakan ekonomi harus melihat sejarah perekonomian suatu bangsa, sehingga kegagalan-kegagalan dapat diminimalisir.
Dalam hal ini, sejarah secara tidak langsung juga menjadikan pembacanya, penelitinya mengerti tentang politik, sejarah menjadi pendidikan politik.
b.  Sebagai pendidikan perubahan
Bagaimana perkembangan (sejarah) hidupmu? Yah, kamu dulu hanya bayi kecil yang bergantung pada ibu, lalu kamu remaja, dewasa, dan nantinya tua juga. Sejarah juga belajar tentang perkembangan tersebut, dari awal dulu, hingga sekarang, dan ternyata dunia selalu berubah. Belajar sejarah, berarti juga belajar untuk berubah, belajar untuk bergerak, dan melakukan pembaharuan.
Sejarah tidak hanya mempelajari masa lalu untuk kepentingan masa lalu saja. Sejarah sebagai kisah nyata pengalaman hidup manusia dapat digunakan untuk memprediksi dan mengantisipasi kejadian berikutnya/masa depan yang memiliki kecenderungan yang sama. Sehingga secara tidak langsung, sejarah mengajak kita untuk “Berubah!”, memperbaiki yang kurang, dan meningkatkan yang lebih. Mari kita berubah!

B.  Menjelaskan kedudukan manusia di muka bumi.
Allah menciptakan alam semesta (termasuk manusia) tidaklah dengan palsu dan sia-sia (QS. As-Shod ayat 27). Segala ciptaan-Nya mengandung maksud dan manfaat. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang paling mulia, sekaligus sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus meyadari terhadap tujuan hidupnya. Dalam konteks ini, al-Qur’an menjelaskan, bahwa manusia memiliki bebrapa tujuan hidup, diantaranya adalah sebagai berikut;
1.    Menyembah Kepada Allah (Beriman)
Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan sendirinya. Manusia diciptakan oleh Allah, dengan dibekali potensi dan infrastruktur yang sangat unik. Keunikan dan kesempurnaan bentuk manusia ini bukan saja dilihat dari bentuknya, akan tetapi juga dari karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia. Sebagai ciptaan, manusia dituntut memiliki kesadaran terhadap posisi dan kedudukan dirinya di hadapan Tuhan. Dalam konteks ini, posisi manusia dihadapan Tuhan adalah bagaikan “hamba” dengan “majikan” atau “abdi” dengan “raja”, yang harus menunjukan sifat pengabdiaan dan kepatuhan.
Makan beribadah sebagaimana dikemukakan di atas (mentaati segala perintah dan menjauhi larangan Allah) merupakan makna ibdah secara umum. Dalam tataran praktis, ibadah secara umum dapat diimplementasikan dalam setiap aktivitas yang diniatkan untuk menggapai keridlaan-Nya, seperti bekerja secara professional, mendidik anak, berdakwah dan lain sebagainya. Dengan demikian, misi hidup manusia untuk beribadah kepada Allah dapat diwujudkan dalam segala aktivitas yang bertujuan mencari ridla Allah (mardlotillah).
Sedangkan secara khusus, ibadah dapat dipahami sebagai ketaatan terhadap hukum syara’ yang mengatur hubungan vertical-transendental (manusia dengan Allah). Hukum syara’ ini selalu berkaitan dengan amal manusia yang diorientasikan untuk menjalankan kewajiban ‘ubudiyah manusia, seperti menunaikan ibadah shalat, menjalankan ibadah puasa, memberikan zakat, pergi haji dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan hidup manusia yang pertama adalah menyembah kepada Allah. Dalam pengertian yang lebih sederhana, tujuan ini dapat disebut dengan “beriman”. Manusia memiliki keharusan menjadi individu yang beriman kepada Allah (tauhid). Beriman merupakan kebalikan dari syirik, sehingga dalam kehidupannya manusa sama sekali tidak dibenarkan menyekutukan Allah dengan segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini (Syirik).
2.    Memanfaatkan Alam Semesta.
Perintah memakmurkan alam, berarti perintah untuk menjadikan alam semesta sebagai media mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di muka bumi. Al-Qur’an menekankan bahwa Allah tidak pernah tak perduli dengan ciptaan-Nya. Ia telah menciptakan bumi sebanyak Ia menciptakan langit, yang kesemuanya dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan lahir dan batin manusia. Ia telah menciptakan segala sesuatu untuk kepentingan manusia. Bintang diciptakan untuk membantu manusia dalam pelayaran, bulan dan matahari diciptakan sebagai dasar penanggalan. Demikian juga dengan realitas kealaman yang lainnya, diciptakan adalah dengan membekal maksud untuk kemaslahatan manusia.
Untuk menjadikan realitas kealaman dapat dimanfaatkan oleh manusia, Allah telah membekalinya dengan potensi akal. Di samping itu, Allah juga telah mengajarkan kepada manusia terhadap nama-nama benda yang ada di alam semesta. Semua ini diberikan oleh Allah adalah sebagai bekal untuk menjadikan alam semesta sebagai media membentuk kehidupan yang sejahtera lahir dan batin. Dalam hal ini Allah menegaskan bahwa manusia harus mengembara dimuka bumi, dan menjadikan seluruh fenomena kelaman sebagai pelajaran untuk meraih kebahagian hidupnya (QS. Al-Ankabut ayat 20 dan QS. Al-Qashash ayat 20).
Berdasarkan uraian di atas, maka sangat jelas bahwa dalam kehidupannya manusia memiliki tujuan untuk memakmurkan alam semesta. Implementasi tujuan ini dapat diwujudkan dalam bentuk mengambil i’tibar (pelajaran), menunjukan sikap sportif dan inovatif serta selalu berbuat yang bermanfaat untuk diri dan lingkungannya. Dalam konteks hubungannya dengan alam semesta, dalam kehidupannya manusia memiliki tujuan untuk melakukan kerja perekayasaan agar segala yang ada di alam semesta ini dapat bermanfaat bagi kehidupannya. Dengan kata lain, tujuan hidup manusia yang semacam ini dapat dikatakan dengan tujuan untuk “beramal”.

C.  Tujuan hidup manusia Sejarah Dan Peradaban
Proses pemanfaatan alam semesta dalam kehidupan manusia diwujudkan dengan perbuatan dan aktivitas riil yang memiliki nilai guna. Perbuatan atau aktivitas riil yang dijalankan manusia dimuka bumi ini selanjutnya membentuk rentetan peristiwa, yang disebut dengan “sejarah”. Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau rajanya. Hidup tanpa sejarah adalah kehidupan yang dialami oleh manusia setelah kematian. Karena dalam kehidupan pasca kematian manusia hanya diharuskan mempertanggungjawabkan terhadap sejarah yang telah dibuat atau dibentuk selama dalam kehidupannya di dunia. Dengan demikian, dalam kehidupannya di dunia, manusia juga memiliki tujuan untuk membentuk sejarah dan peradabannya yang baik, dan selanjutnya harus dipertanggungjawabkan di hadapatn Tuhannya.

D.  Pemahaman manusia sekarang dan masalalu
Urain dapat membentuk sejarahnya, manusia harus selalu iqra’ atau membaca alam semesta. Dengan kata lain, manusia harus menjadikan alam semesta sebagai media mengembangkan ilmu dan pengetahuannya. Oleh karena itu, tujuan manusia membentuk sejarah dan peradaban ini dapat dikatakan sebagai tujuan menjadi manusia yang “berilmu”.
Berdasarkan uraian tentang tujuan-tujuan hidup manusia di atas, dapat ditarik benang merah, bahwa menurut al-Qur’an manusia setidaknya memiliki 3 tujuan dalam hidupnya. Ketiga tujuan tersebut adalah; pertama, menyembah kepada Allah Swt. (beriman). Kedua, memakmurkan alam semesta untuk kemaslahatan (beramal) dan Ketiga, membentuk sejarah dan peradabannya yang bermartabat (berilmu). Dengan kata lain, menurut al-Qur’an, tugas atau tujuan pokok hidup manusia dimuka bumi ini sebenarnya sangatlah sederhana, yakni menjadi manusia yang “beriman”, “beramal” dan “berilmu”. Keterpaduan ketiga tujuan hidup manusia inilah yang menjadikan manusia memiliki eksistensi dan kedudukan yang berbeda dari makhluk Allah lainnya.




















BAB III
PENUTUP
A.        Kesimpulan
Kebencian terhadap filsafat yang abstrak dan kosong, serta keengganan terhadap kecenderungan filsafat yang ambisius itu diperkuat lagi oleh adanya perkembangan ilmu-ilmu terapan ‎‎(applied sciences) yang sangat pesat pada abad keenambelas. Sejak penemuan Copericus (1473-‎‎1543) di bidang astronomi, ilmu-ilmu alam telah membuktikan diri sebagai pengetahuan yang praktis, berguna dan yang memperlihatkan dampak langsung bagi kehidupan manusia. Penemuan demi penemuan di bidang ilmu semakin mengangkat pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang benar. Hal ini pun berpengaruh besar dalam perkembangan filsafat. Banyak pemikir filsafat mulai mengalihkan perhatian mereka pada metode yang ditempuh oleh ilmu pengetahuan, serta mengidealkan filsafat dengan metode ilmiah yang sifatnya pasti. Dengan latar belakang inilah Descartes (1596-1650) misalnya, merintis filsafat “Rasionalisme” dengan mengetengahkan pemikian sebagai konstruksi idea-idea dasar yang jelas dan terpilah-pilah (claire et distincte). Rasionalisme Descartes diikuti oleh para filsuf sesudahnya yang mengarahkan perkembangan filsafat pada pendewaan “rasio” sebagai kriterium utama pemikian. Lahirlah pada periode berikutnya jaman ‎‎“Pencerahan” (Enlightment atau Aufklarung) yang sangat menghargai akal budi. Kecenderungan ini dengan jelas memperlihatkan bahwa manusia modern sesungguhnya tidak menolak filsafat, melainkan cara atau metode pendekatannya saja yang terus menerus harus diperbaharui agar tetap relevan untuk kebutuhan perkembangan peradaban.


B.    Saran
Pada masa pergerakan dikatakan sebagai masa permulaan perkembangan Di kehidupan manusia menjadi  di muka bumi karena pada masa itu manusia yang terdiri dari seorang nabi diutuskan ke bumi dan hidup di  dunia yang luas dan banyak dihuni bayak kehidupan, dan bermacam ragam tumbuhan dan buah-buahan yang segar.
Kehidupan manusia saat ini sudah sangat baik dan moderen dan canggih dan banyak bangsa dan Negara di duniah ini, dan sudah memiliki kehidupan yang layak








DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. dan Surjomihardjo, A, (1985) Ilmu Sejarah dan Historiografi Arah dan Perspektif, Jakarta, PT. Gramedia: jakarta.
Adam, Barbara (2000) “Waktu” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn, 1096-1097. Adam, Barbara, (1990a) Time and Social Theory, Cambridge, Simon & Schuster UK Ltd:
Adam, Barbara (1990b) Time watch: The Social Analysis of Time, Cambridge: Simon & Schuster UK Ltd
Al-Sharqawi, Effat (1886) Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Penerbit Pustaka.
Anderson, B. (1983) Immagined Communities, Reflection on the Origin and Spread of Nationalism, London: The Thetford Press, Ltd..
Anderson, M. (1980) Approaches to the History of the Western Family 1500-